Lingkaran Setan
Malas baca. Mestinya itu sih yang jadi judul tulisan gue di atas, karena memang itulah inti dan motivasi gue buat nulis postingan ini. Jadi, belakangan gue baru menyadari kalau gue sedang mengidap penyakit malas. To be specific: malas membaca, yang ternyata akar dari segala jenis penyakit malas lainnya. Jadi tiap kali gue mengunjungi portal berita online, gue lebih menikmati membaca headline-headline berita yang ada secara sekilas aja, tanpa ada keinginan untuk membaca penuh si artikel beritanya. Kalaupun gue buka artikel berita yang mengundang rasa penasaran gue, gue bacanya bakalan lompat-lompat dari satu paragraf ke paragraf lain, yang berpotensi bikin gue salah memahami isi beritanya, atau bahkan jadi berkesimpulan prematur. Kan bahaya.
Kalau mau ditelisik, agaknya kebiasaan gue malas membaca ini merupakan warisan masa-masa glamorous (kalau gamau dibilang stressful dan kelam) ketika gue nulis skripsi. Menurut hasil kontemplasi gue beberapa menit yang lalu, si penyakit malas membaca ini adalah hasil evolusi dari teknik membaca cepat yang tidak lagi aplikatif di fase kehidupan gue yang sekarang. Latar belakang keilmuan gue, yang adalah literatur (literatur ya, bukan bahasa), memang melegalkan gue untuk melakukan scanning dengan cepat isi dan inti sebuah tulisan, terutama tulisan kesusastraan. Ilmu sastra itu kan sifatnya relatif ya, jadi isi atau pesan yang terkandung dalam sebuah karya sastra dan pemahaman seseorang akan karya sastra tersebut ya tergantung interpretasi dan perspektif dari orang yang bersangkutan. Kasarnya, ilmu sastra ga kaya matematika yang kaku yang setiap detailnya harus tereksplanasi sesuai aturan dan tata cara yang mutlak. Ilmu sastra ini lebih fleksibel, berkembang sesuai nalar dan imajinasi lo. Maka katakanlah ketika lo membaca sebuah karya sastra secara serampangan yang berakibat ada beberapa hal yang lo missed dari si karya sastra tersebut dan mempengaruhi kesimpulan akhir dan pemahaman lo akan pesan yang terkandung dari karya sastra yang lo baca, sebenernya ya sah-sah aja, dan ga bisa dibilang kalau lo salah, karena toh tiap orang punya kemampuan interpretasi dan sudut pandang yang berbeda. (*selama ga menyimpang dari aqidah kesusastraan ya maksud gue).
Nah karena zaman dulu (ga dulu-dulu banget sih; zaman kuliah) gue selama bertahun-tahun hidup di lingkungan yang homogen, alias lingkungan anak-anak literatur (dan linguistik); yang pola pikir, dasar ilmu, dan habitasinya sama, kegiatan 'membaca cepat' itu jadi hal yang biasaaa banget, lumrah, dan sah-sah aja dilakukan. Udah kaya nafas aja gitu. Kalau udah terlatih macem kita-kita ini *tunjuk diri sendiri pake dua jempol*, bikin analisa konstelasi figur dari sebuah novel udah ga perlu dibaca semua tiap kalimat ampe tamat novelnya, cukup ham hem ham hem aja ga pake ngedip juga kelar. Kalo belum kebayang juga, teknik baca cepat ala anak literatur ini mirip-mirip teknik baca soal toefl yang suka diajarin di TBI :)). Nah kemudian tibalah masa-masa di mana harus bikin skripsi yang bikin si teknik baca cepat ini makin merajalela dan menjadi-jadi. Ya lo bayangin aja mesti cari kutipan yang tepat sasaran, atau teori-teori segitu banyaknya dari buku-buku yang bergelimpangan dan tebel-tebel gitu, lah emang mau dibaca semua ampe ke daki-dakinya? Belum lagi ya emang skripsi gue pada saat itu bahasannya emang mengharuskan gue untuk baca referensi sastra yang banyak buanget, dan dalam bahasa Jerman pula. Gue bukan bikin justifikasi ya, tapi ya emang di lingkungan gue (dulu) hal itu ya wajar aja gitu. Normal.
Kemudian detik berganti detik, hari berganti hari, tahun berganti tahun, presiden ganti, gelar ganti, lingkungan juga ikutan ganti, dan *drumroll* akhirnya si teknik baca cepat ini ga lagi applicable dan jadi solusi buat segala kegiatan redaksional gue. Di lingkungan yang baru ini, ga semuanya paham dan bisa menerima cara-cara dan habit yang biasa gue lakukan di lingkungan sebelumnya. Kebayang aja gue baca MOU sama SOW lompat-lompat gitu, kan bisa mengerikan dampaknya :)). Makanya nih, gue nulis ini buat self reminder aja, biar gue ga malas-malasan baca lagi, karena ya gimanaaa, ga bisa dipungkirilah, membaca itu penting adanya kan? Setelah diselami (((selami))) lebih dalam, malas membaca itu juga bisa menjadi titik awal lingkaran setan, yang kira-kira begini siklusnya; malas membaca--->malas menulis--->malas berpikir---->malas mengerti---->malas memahami---->malas bertoleransi. Dan kemudian apalah artinya hidup tanpa toleransi yak kan? Ini gue nulis apaan sih sebenernya (-_____- ")> .
Ya sudahlah, intinya ya sebisa mungkin banyak-banyak membaca, supaya tidak bodoh dan mudah dibodohi, supaya cerdas, supaya up to date, supaya bisa jadi lawan bicara yang menyenangkan, supaya bisa jadi calon menantu yang adiluhung lagi paripurna, supaya tidak terkena Alzheimer, supaya....hidup menjadi lebih hidup. Segitu ajalah tulisan ngalor ngidul debat kusir gue kali ini, maaf kalau ada salah kata, kesempurnaan hanya milik Allah SWT, ketidaksempurnaan hanya milik Bunda Dorce. Wasalam.
Senin, menjelang tengah malam, 12 Oktober 2015, pojokan Starbucks Sarinah, Sendirian, Lewat Handphone.
Comments
Post a Comment