Boundaries





Penggalan lirik lagunya Lilly Allen yang Friday Night di atas itu dari semalem terngiang-ngiang mulu di kuping gue. Selain melodynya yang catchy, liriknya juga *batuk rejan* ngena banget kayanya buat sebagian orang. Sebagian orang lho yaaaaaaaaaaaaa, bukan gue, tolong digarisbawahi dan kalo bisa dibold sekalian. Ga semua yang gue tulis di twitter, path, blog itu semuanya tentang gue heeeeey *jewerin satu2*.

Nah ngomong-ngomong fire-play a.k.a bermain api, apapun konteksnya ya, kalo akhirnya ada yg terbakar itu sebenernya siapa yang harus disalahin? apinya atau manusianya? Haha.

Coba kita bikin simulasi kasus, misalnya, ada dua insan manusia berbeda jenis yang punya ritme hidup yang hampir sama, dan selalu berinteraksi hampir 12 jam setiap harinya. Si manusia wanita, kebetulan sudah berpasangan, menikah disaksikan kerabat dan Tuhan, dan seperangkat mas-mas mba-mba W.O dan penghulu tentunya. Si manusia pria merupakan individu yang bebas, idealis, dan merasa skeptis terhadap konsep perkawinan. Baginya, perkawinan (atau pernikahan, bahasa halusnya) hanya sebatas legitimasi sex dan sarana penyaluran afeksi dan hasrat semata. Walaupun sebenarnya kalau dicermati, si manusia pria kita ini 'husband-material' banget, bukan cuma sekedar 'eye-candy man' doang.

Akibat intensitas pertemuan dan interaksi mereka setiap harinya, mulai dah tuh timbul percik-percik asmara. Witing tresno jalaran soko kulino kalo kata orang Jawa mah. Si manusia pria, yang well educated dan open minded ini, mengerti sejauh mana dia boleh melangkah dan bersikap. Dia juga membuat batasan-batasan untuk dirinya sendiri yang bisa bikin dia stay on track. Sementara si manusia wanita, yang tinggal berjauhan dengan sang suami, mulai goyah dan tergoda dengan keberadaan dan semua proses interaktifnya dengan si manusia pria.

Keduanya menyiratkan rasa suka terhadap satu sama lain, meskipun masih smooth dan terselubung dalam daily jokes yang saling mereka lontarkan. Namun apa daya, si wanita, she can't resist the power of chemistry, dan akhirnya mulai secara terang-terangan memberi sign kepada si pria idaman kita ini. Si pria, karena dia tau boundaries, main smooth and safe aja. Dia menanggapi sign-sign si wanita dengan santai hingga tercipta kesan bahwa si wanitalah yang agresif. Namun apa daya, si pria, he can't resist the power of chemistry, and love, either. Sampai pada suatu sore, di tengah obrolan hangat mereka soal politik, pekerjaan, dll, berawal dari sentuhan tangan yang sekejap mata, lalu berubah menjadi impuls listrik, lalu kemudian bertransformasi menjadi suatu reaksi kimia yang bahkan si pria yang katanya tau dan paham boundaries ini tidak punya kendali atasnya. We all know what happens next. Lama kelamaan, hal semacam ini menjadi semacam aktivitas reguler bagi mereka.
Nah kalo udah kaya gini, siapa yang mesti disalahin? Pria? Wanita? Situasi? Hati? atau APIIII? *ZOOM IN ZOOM OUT ALA SINETRON GANTENG-GANTENG SERIGALA*

Comments

Popular Posts