Perihal Kehilangan

Pernah ga sih lo kehilangan sesuatu, barang atau apapun, yang bikin lo sedih berkepanjangan? Lebay banget kayanya ya sedih berkepanjangan, ya seenggaknya ada semacam rasa sesak di dada gitulah, dan tentu saja perasaan tidak rela. Tidak rela untuk melepaskan benda atau hal kepunyaan kita itu untuk hilang atau akhirnya jatuh ke tangan orang lain. Dulu sih waktu kecil, gue inget banget pernah nangis histeris sampe bikin geger tetangga-tetangga gara-gara kelinci gue tiga ekor mati massal di kandangnya (itu salah satu bentuk kehilangan juga kan?). Lalu pernah juga waktu SD, bando Cassandra gue yang waktu itu lagi hits-hitsnya tiba-tiba berpindah tangan (kepala lebih tepatnya), ke temen gue yang gue ga begitu suka. Itu nyesek banget rasanya di dada. Gue bahkan sampai sekarang masih inget sensasi sebel combo sakit hatinya. Dan masih banyaklah kisah-kisah pilu dan sedikit norak terkait kasus kehilangan yang gue alami.

Beranjak dewasa, gue udah ga terlalu mempermasalahkan lagi perihal kegiatan hilang-menghilangkan (yang berarti ada unsur kesengajaan) atau kehilangan (yang memang benar-benar kehilangan dan di luar kemauan gue) barang dan hal-hal yang ada di dalam hidup gue. Karena toh menurut gue segala sesuatu yang sifatnya kebendaan pastilah bisa kita cari dan dapatkan kembali kalau kita mau berusaha. Bahkan ketika hubungan asmara gue yang sudah gue jalani bertahun-tahun akhirnya harus berakhir, gue ga terlalu lama berlarut-larut dalam duka. Tentu saja rasa sakit itu ada dan bersisa, tapi karena ya sudah biasa kehilangan itu tadi, jadi ga butuh waktu lama buat bisa kembali keadaan semula. Nah tapi, ketika beberapa hari yang lalu gue akhirnya mengalami kejadian kehilangan lagi, si sensasi sebel combo sakit hati itu muncul lagi ke permukaan. Sensasi yang bahkan ga muncul waktu gue terpaksa harus kehilangan hubungan yang gue harapkan berakhir di lembaga pernikahan. Kali ini bukan karena gue kehilangan bando Cassandra, bukan pula karena gue teringat kembali tragedi yang menyebabkan bando itu hilang nyaris 20 tahun yang lalu. 

Sensasi itu muncul tak lain dan tak bukan karena gue kehilangan sesosok teman diskusi yang asik dan menyenangkan, yang notabene jarang sekali gue temui di kehidupan gue. Masalahnya adalah; ga semua orang bisa menghandle personality dan karakter gue yang begini adanya. Kalaupun ada, mereka ga cukup asik untuk dijadikan teman ngobrol, diskusi, tempat bertanya hal-hal yang selalu randomly bikin gue penasaran, atau sekedar tempat bercerita dengan antusias tentang kesibukan gue hari itu. Teman diskusi gue ini, dia qualified buat dua-duanya. Dia tau bagaimana cara berinteraksi dengan gue, menyikapi segala keabsurdan gue, dan di saat yang sama dia juga adalah partner bertukar pikiran dan berbagi masalah hidup yang menyenangkan. Tapi ya, sayangnya, belum juga gue puas mengeksplorasi dunia lewat obrolan-obrolan ringan dan teduh sama si teman diskusi gue ini, dia udah harus pergi meninggalkan gue. Ga rela sih memang, tapi kalau itu yang dia inginkan dan bisa bikin dia bahagia, ya gue bisa apa? Gue ga bisa egois dong dengan mengkeep dia buat gue doang sementara bukan itu yang dia mau. Jadi ya udah deh, for the hundredth time, gue harus kehilangan sesuatu lagi dalam hidup gue.


Comments

Popular Posts